Sumber : Kompas Cetak 26 April 2015
Avip Priatna dan kawan-kawan dalam konser Love of my Life di Theater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (18/4)/Kompas/Riza Fathoni
Memindahkan Queen dari ranah band rock ke
pentas musik klasik Barat, tanpa kehilangan roh, itulah yang dilakukan Avip
Priatna. Avip dan kawan-kawan menyuguhkan kemegahan Queen dalam pergelaran
”Love of My Life” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (18/4).
Avip Priatna, konduktor dan direktur musik
pergelaran ”Love of My Life”, menggunakan dua pendekatan berbeda untuk karya
Queen. Pertama ia membiarkan Queen seperti Queen, meski bukan berarti ia meniru
persis. Kedua, ia ingin menjadikan lagu Queen terdengar berbeda dari biasanya.
Lagu Queen dibuat layaknya komposisi klasik musik Barat. ”Buat pendengar klasik
akan terhibur. Tetapi kalau semua lagu Queen diubah kok kasihan yang denger,”
kata Aviv yang menggemari lagu-lagu Queen.
Queen adalah band rock asal Inggris yang
berawak Freddie Mercury, Brian May, John Deacon, dan Roger Taylor. Avip memilih
penggarap orkestrasi yang memahami benar karakter lagu Queen. Mereka adalah
Joko Lemazh Suprayitno, Renardi Effendi, Fafan Isfandiar, Aubrey Victoria, dan
Elwin Hendrijanto. Orkestrasi, interpretasi, dan eksekusi Avip atas garapan
tersebut tidak menghilangkan ”roh” Queen. Di tangan Avip dan kawan- kawan,
lagu-lagu Queen menjadi sangat klasik, tetapi rocknya tetap perkasa.
Avip menerjemahkan Queen lewat Jakarta Concert
Orchestra, Batavia Madrigal Singers, dan The Resonanz Children Choir. Ada
penyanyi Lisa Depe, Heny Janawati, Michele Siswanto, serta Judika penyanyi Indonesian
Idol itu. Judika dipilih Avip karena warna dan wilayah suaranya yang
cocok membawakan lagu-lagu Queen. Pentas juga didukung EKI Dance.
”Radio Gaga”
”Radio Gaga” yang keluar pada 1984 bisa
dikatakan menyempal dari jenis lagu Queen sebelumnya. Drumer Roger Taylor
memang semula merancang lagu tersebut untuk album solonya. Namun kemudian lagu
itu ”di-Queen-kan” oleh Freddie Mercury dan bassist
John Deacon. Dibilang menyempal karena Queen menggunakan drum
machine. Alur basnya juga menggunakan synthesizer
Roland Jupiter-8. Ini bisa dibilang lagu Queen yang sangat ”mesin”.
Avip Priatna memercayakan penggarapan
orkestrasi ”Radio Gaga” pada Fafan Isfandiar yang dengan cerdik mengadaptasi
lagu ke bentuk orkestra. Ia menemukan cara kreatif, bunyi-bunyi ”mesin” yang
lahir dari synthesizer
versi Queen ia terjemahkan dengan selo, viola, dan tiup kayu basoon.
Selo dan biola dimainkan dengan teknik petik atau pizzicato.
”Secara teknis instrumen, adaptasi itu memungkinkan, tetapi akan sangat
melelahkan bagi pemain,” kata Fafan.
Ia menyiasati dengan cara bermain bergantian
antara selo dan biola. Untuk
basoon, ia juga menggilir peran basoon
1 dan basoon
2. Dengan cara itu, ”Radio Gaga” tidak kehilangan ”roh” sebagai jenis lagu
eksperimental Queen. Penyanyi Judika pun bisa bernyanyi dengan nyaman seperti
versi orisinal Queen.
Fafan juga ditugasi menggarap ”Crazy Little
Thing Called Love”, lagu Queen yang paling
rock n’ roll. Secara eksplisit ke-rock
n’ roll-an itu disebut dalam lirik. ”There
goes my baby, she knows how to rock n’ roll....” Bagaimana memindahkan
”roh” rock
n’ roll ke dalam bentuk orkestra, itu pekerjaan yang tidak gampang.
Queen menggunakan gitar sebagai ritme dengan 4 birama. Fungsi gitar diambil
alih oleh seksi tiup logam atau brass.
Suara gitar yang paling rendah dipegang oleh trombon.
Interlude gitar ”The Big Red” petikan Brian
May yang khas itu diterjemahkan oleh trombon. Pilihan yang cerdik karena
trombon mempunyai karakter
bisa meliuk atau
sliding. ”Kalau saya pindahkan ke biola nanti rasanya jadi musik
country,” kata Fafan, violis yang tergabung dengan Kua Etnika.
”Love of My Life”
Lagu ”Love of My Life” yang menjadi judul
konser disuguhkan dengan pengubahan cukup berani. Dengan aransemen garapan
Elwin Hendrijanto, Avip berani menghilangkan bagian intro piano yang terkenal
dalam versi Queen itu. Avip memang sengaja membuat lagu karya Freddie Mercury
itu terdengar beda.
Keberanian Avip yang lain adalah dalam hal
interpretasi. Bagi Avip, versi orisinal lagu tersebut terkesan galau, kelabu.
Kegalauan itu memang tersimak dari lirik awal. ”Love
of my life, you’ve hurt me/ You’ve broken my heart and now you leave me....”
Terkesan nelangsa, seperti hati yang luka. Elwin menjadikan komposisi tersebut
cerah, lincah, penuh semangat.
Digarap dalam bentuk variasi, Elwin
mengembangkan tema melodi seperti yang terdengar pada lirik yang berbunyi ”Love
of my life....” Ia sengaja tidak mengembangkan bagian melodi pada lirik
pahit ”You’ve
hurt me...” dan seterusnya. ”Yang ’you’ve
hurt me’ itu bikin galau. Ini demi memori yang positif, yang happy,”
kata Avip yang mengaku terkesan dengan lagu tersebut.
Pendekatan hampir serupa digunakan dalam
komposisi medley
berisi ”Play the Game”, ”The Millionaire Waltz”, dan ”Another One Bites of the
Dust”. Michelle Siswanto, concert
master yang menjadi solis biola, menjadikan karya Queen tersebut
terdengar sangat klasik pada bagian awal. Bagian tengah medley
mengingatkan pada rasa waltz
ala Strauss. Adapun bagian terakhir terdengar sangat rock.
”Bohemian Rhapsody”
Lagu ”Bohemian Rhapsody” dan ”We Are the
Champions” ditempatkan sebagai pemuncak konser berdurasi 92 menit itu. Pada
versi Queen, ”Bohemian Rhapsody” terbagi dalam enam bagian. Pertama adalah
intro vokal, kemudian disusul balada yang dimulai dengan lirik ”Mama
just killed a man”. Lantas masuk gitar solo Brian May yang keren itu.
Berlanjut dengan bagian operatik yang dimulai dengan lirik ”I
see a little silhouetto of a man?” Disambung dengan suguhan hard
rock yang keras-keras jantan. Lalu bagian finale
yang lembut.
Pada bagian inilah Avip mengerahkan Jakarta
Concert Orchestra, Batavia Madrigal Singers, serta solis Judika dan Lisa Depe
yang dengan primanya menginterpretasi Queen. Dengan orkestrasi garapan Fedor
Vrtacnik, keenam bagian komposisi seperti tersebut di atas diterjemahkan tanpa
kehilangan detail seperti disuguhkan Queen. Termasuk bagian solo gitar dan hard
rock diambil alih oleh seksi gesek dan tiup termasuk pikolo, serta
vokal.
Pengubahan dilakukan pada bagian penutup. Pada
versi Queen lagu ditutup dengan model fade
off, yaitu melembut, melirih lalu lenyap. Avip memegahkan bagian
tersebut dengan fortississimo
(tanda dinamik yang ditulis fff).
Suara vokal dikerahkan sekeras mungkin tetapi terukur. Di tangan Avip dan
kawan-kawan, malam itu Queen menjadi begitu megah.
0 comments:
Post a Comment